Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 04 Desember 2010

Mendidik Anak Secara Alami

KESIBUKAN keduanya meniti karier sebagai pelayan masyarakat atau publik tidak dapat disangka jika urusan rumah tangga apalagi keluarga menjadi tidak seimbang. Namun, pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai dokter ini tidak ingin anak-anaknya ditelantarkan begitu saja. Oleh karena itu, keduanya membiarkan anak-anak mereka bertumbuh secara alamiah di mana pun mereka berada. Kemampuan ekonomi yang dimiliki keduanya tidak membuat keduanya memanjakan anak-anaknya.

Itulah tips mendidik anak yang dilakukan pasangan dr. Hyeronimus Fernandez dan dr. Simplicia Maria Anggrahini.

Pasangan ini memiliki dua anak yang saat ini sudah memasuki masa dewasa. Pertama, Wahyu Fernandez, lahir di Yogyakarta, 7 Maret 1986, saat ini duduk di semester akhir Program Studi Komunikasi di Universitas Atmajaya Jakarta. Kedua, Wijaksana Fernandez, lahir di Lewoleba, 11 Agustus 1989, saat ini duduk di semester V, Fakultas Kedokteran Udayana, Bali.

Ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Jumat (3/12/2010), pria kelahiran Larantuka, 19 Januari 1958 ini, mengatakan, sebagai orangtua dia memiliki pengalaman buruk dalam mendidik anak karena kurang maksimal menjalankan tugas dan kewajiban sebagai orangtua. Berprofesi sebagai dokter yang siap untuk melayani semua orang memang akan sangat tidak maksimal dalam mendidik dan membesarkan kedua anaknya. Padahal, keduanya sadar betul jika hidup suami istri membentuk keluarga yang sejahtera melalui sebuah sumpah ikatan perkawinan.

Namun, sebagai dokter, keduanya juga melakukan sumpah untuk melaksanakan tugas sebagai dokter dengan baik.
Keduanya mengakui membesarkan anak-anak dalam tarik- menarik kepentingan antara tugas sebagai orangtua dan kepentingan profesi (melayani banyak orang) sehingga melupakan pertumbuhan dan perkembangan anak di sisi yang lain.

Katanya, ketimpangan antara tugas sebagai dokter dan sebagai orangtua ini hampir menjadi soal setiap hari karena sama-sama dihadapkan dengan pilihan moral, apakah mengutamakan kepentingan keluarga ataukah kepentingan umum.

"Bagaimana malam-malam kalau sedang bersama-sama dengan istri dan anak, tiba-tiba ada telepon ada kejadian di rumah sakit, salah satu dari kami harus meninggalkan anak-anak atau bahkan kami berdua meninggalkan anak-anak. Saya tidak tahu, apakah mereka komplain atau tidak, yang jelas mereka sepertinya menjadi trauma dengan profesi sebagai dokter," kata pria hitam manis yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bappeda Propinsi NTT ini.

Namun, berkat penyerahan seutuhnya kepada Yang Maha Kuasa dengan iman yang tetap berpasrah, keduanya yakin betul ada campur tangan Tuhan melalui tangan banyak orang. Meski keduanya memiliki intensitas pekerjaan dan tingkat kesibukan yang tinggi, anak-anaknya bisa tetap berjalan dalam naungan Tuhan, bahkan terbilang sukses dalam pendidikan.

Kedua anaknya memang memiliki kecerdasan intelektual yang memadai sehingga memudahkan keduanya dalam membimbing anaknya di rumah jika ada kesempatan. Selain itu, anak-anaknya juga bertumbuh dan berkembang dengan sehat walafiat. Kedua anaknya juga akhirnya tumbuh menjadi anak yang sangat mandiri. Meski sering ditinggalkan orangtua dan saat ini harus sekolah di tempat yang jauh, keduannya sangat mandiri sehingga tidak mengkhawatirkan keduanya.

Apalagi, katanya, kemajuan alat komunikasi yang canggih saat ini membuat keduanya tetap berkomunikasi dengan anak-anak secara terus-menerus. Selain mempercayakan kedua anaknya kepada Tuhan, pasangan ini juga mempercayakan anak-anaknya kepada sistem. Sistem yang dimaksudkan ini adalah dalam hal pendidikan anak, keduanya mempercayakan anak-anaknya kepada bruder dan suster yang mendidik anak-anak.

Kedua anaknya, kata Hyero, dimasukkan ke asrama yang dipimpin oleh bruder dan suster sehingga sangat membantu keduanya. Hal ini dilakukan, karena keduanya bertugas berpindah-pindah tempat, mulai dari Lewoleba, Larantuka, Surabaya, Ruteng, Maumere dan kembali ke Kupang. Bagi keduaya, konsep mengasuh anak secara tradisional d imana orangtua harus pulang pada jam-jam tertentu memang sangat susah dilakukan oleh keduanya.

Sehingga, ketika bertugas di Larantuka dan melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 di Surabaya, keduanya benar-benar menikmati kehidupan berumah tangga yang baik dimana bisa berkumpul bersama istri dan anak.

Menurutnya, keduanya mendidik anak-anaknya dengan sangat demokratis, tetapi dalam hal-hal prinsip memang ada yang harus otoriter. Dua hal yang diutamakan dalam keluarga ketika sedang berkumpul bersama adalah iman dan pendidikan. Kedua hal ini memang tidak bisa ditawar-tawar. Makanya, ketika anak keduanya tidak mau melanjutkan pendidikan ke kedokteran, keduanya akhirnya secara otoriter dengan menunjukkan kemampuan yang dimiliki keduanya untuk menyekolahkan anaknya di kedokteran dan melakukan test bakat kepada anaknya. Hasil psikotes, ternyata anaknya memiliki bakat untuk bidang kedokteran. Inilah yang menguatkan keduanya menyekolahkan anaknya di kedokteran dan anaknya akhirnya menyetujuinya dan sekarang sudah duduk di semester V Fakultas Kedokteran Udayana-Bali.

Alumnus Fakultas Kedokteran UGM ini mengatakan, ketika anak-anaknya sudah bertumbuh dewasa saat ini, komunikasi yang dilakukan keduanya adalah komunikasi antara orang dewasa. Hal ini dilakukan agar anak-anaknya mulai mandiri dan mulai memikirkan masa depan mereka masing-masing. Bahwa apa yang dimiliki saat ini adalah milik orangtua, bukan milik anak, sehingga ia bersyukur anak pertamanya sudah bekerja sambil menyelesaikan tugas akhirnya.

"Manjadi orangtua adalah sekolah seumur hidup dan belum tentu lulus. Walau mungkin kita lulus dalam pendidikan, jabatan/karier. Kami berusaha terus belajar dalam relasi dengan anak-anak, keluarga di lingkaran dekat, teman-teman, dan keluarga-keluarga lain," ujar warga BTN Kolhua Kota Kupang ini. (nia)

Sumber: Pos Kupang Minggu, 5 Desember 2010 halaman 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar