Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 07 Juni 2011

Menjawab Tantangan Pastoral Keluarga


EMPAT belas pasutri dengan bunga di dada berjalan dengan anggun menuju altar. Seketika itu juga pandangan umat yang hadir terpusat pada keempat belas pasutri tersebut.

Rona wajah para pasutri memancarkan kebahagiaan. Senyum kebahagiaan mereka merekah. Tangan para pasutri erat bergandengan saat melangkah menuju ke depan altar, Gereja Santo Aloysius Gonzaga (Algon)Surabaya, Minggu, 27/2. Di depan altar, mereka berdiri berjajar berpasang-pasangan. Dengan lantang mereka mengucapkan janji perkawinan. Selanjutnya, me­reka diperciki air suci dan diberi sertifikat perayaan ulang tahun perkawinan.

Di Paroki Algon, Misa Ulang Tahun Perkawinan rutin diadakan pada Minggu terakhir dalam bulan, sejak 2004. Pasutri yang merayakan ulang tahun berkisar antara 10 hingga 20 pasang.



“Ini adalah salah satu upaya pendampingan keluarga di paroki kami,” ujar Antonius Suliyanto (43), sekretaris Tim Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) Kevikepan Surabaya Barat.

Katekis lulusan Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang,1992, ini menjelaskan bahwa di parokinya, pendampingan keluarga juga dilaksanakan melalui Kursus Persiapan Perkawinan (KPP). Metode yang dipakai dalam KPP tidak melulu dalam bentuk seminar, tetapi lebih banyak berbentuk diskusi kelompok. Satu kelompok terdiri dari empat pasangan. Dalam diskusi, peserta diberi kesempatan untuk sharing dan mendengarkan sharing pasutri pendamping.

Pembenahan Perkawinan

Di samping Misa Ulang Tahun Perkawinan dan diskusi kelompok, di Keuskupan Surabaya masih ada pastoral pendampingan keluarga-keluarga Katolik. Intinya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan dimaksudkan untuk menyapa dan memperhatikan keluarga-keluarga Katolik. Kegiatan KPP dan Misa Ulang Tahun Perkawinan juga dilakukan di keuskupan-keuskupan lain.

Uskup Padang Mgr Martinus D. Situmorang OFMCap mengungkapkan bahwa di keuskupannya ada berbagai macam pelayanan pastoral keluarga. Di paroki-paroki, Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) dan pendampingan keluarga-keluarga muda tampak lebih menonjol.

Sebagai penanggung jawab pastoral keuskupan, dan secara nyata memiliki perangkat yakni Komisi Kerasulan Keluarga, Mgr Martinus bersama tim dan para imamn berusaha meningkatkan pelayanan pastoral keluarga sampai ke paroki-paroki kampung.

“Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Padang sebenarnya lebih menganimasi dan memberi bekal kepada kelompok-kelompok kerasulan keluarga di paroki-paroki. Pada kesempatan khusus, tim ini juga terjun langsung ke paroki-paroki untuk memberikan penataran atau pembahasan topik tertentu. Meski demikian, pastoral keluarga yang ada di Keuskupan Padang belum intensif dan belum memadai,” demikian Mgr Martinus.

Gereja domestik, menurutnya, tak henti-hentinya melakukan penyadaran, penyuluhan, dan pendampingan. Harapannya, dengan cara-cara ini, keluarga-keluarga bisa berkumpul, saling menolong, meneguhkan, dan berbagi. Mgr Martinus yakin, nilai gerakan komunitas semacam ini akan berdampak sangat besar untuk kekokohan keluarga.

Menyampaikan tantangan yang harus dihadapi, Mgr Martinus mengatakan, “Persoalan ekonomi keluarga menyebabkan suami merantau. Dorongan keterbatasan ekonomi dan juga tren kehidupan saat ini memaksa istri juga bekerja. Rasa kekeluargaan dan relasi yang intensif kian sulit dibangun. Akibatnya, konflik dan pertengkaran bermunculan dan berlarut-larut, tak segera tertangani karena jarak berjauhan.”

Menyinggung problematika konkret yang dihadapi Keuskupan Padang, ia mengutarakan dengan tegas, Keuskupan Padang kini sedang fokus pada persoalan pembenahan dan pembenaran status yuridis perkawinan.

Kawin Adat

Di wilayah Keuskupan Weetebula, pelayanan pastoral keluarga di Keuskupan Weetebula, masih berkutat pada usaha untuk menyejahterakan keluarga miskin di perkampungan dan pedesaan.

Diungkapkan Uskup Weetebula, Mgr Edmund Woga CSsR, pastoral keluarga di keuskupannya fokus pada bidang ekonomi, melalui komunitas basis. Upaya ini memanfaatkan bermacam sarana baik milik Gereja maupun pemerintah. Upaya yang paling kentara, yaitu pendampingan para petani dan pendirian koperasi. Dalam upaya ini Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Weetebula bekerja sama dengan Komunitas Basis Gerejani (KBG).

Selain persoalan kemiskinan, keuskupan ini juga dihadapkan pada hukum adat yang kuat. Persoalan khasnya berupa mas kawin dan unsur-unsur adat yang nyata-nyata masih menjadi beban untuk calon keluarga baru.

“Gereja berusaha mengurangi mas kawin, atau juga perkawinan saudara dekat, yang menurut hukum Gereja, perkawinan itu tidak boleh. Tetapi menurut adat, itu sesuatu yang ideal. Secara adat perkawinan semacam ini terpuji, tetapi tidak bagi Gereja,” ungkapnya.

Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM mengungkapkan hal yang sama. Di daerah pedalaman Papua, di antara banyak suku, masalah yang sering dihadapi yaitu banyaknya umat yang nikah secara adat. Pemberkatan pernikahan di Gereja amat jarang ditemukan. Perkawinan adat memudahkan orang untuk cerai dan nikah lagi. Orang banyak memilih nikah secara adat daripada di Gereja. Sedangkan di daerah perkotaan, masalah yang muncul, yaitu semakin banyaknya kawin campur. Tantangan pastoral keluarga di Papua pada umumnya juga terkait mas kawin yang mahal.

Untuk menangani masalah-masalah tersebut, Mgr Leo Laba, yang pada 4 November 2011 mendatang genap berusia 68, ini telah mengupayakan kegiatan persiapan perkawinan yang lebih intensif di tingkat paroki. Tahun depan, ia berencana menyelesaikan kasus-kasus perkawinan secara hukum Gereja dan membina keluarga-keluarga yang mulai retak untuk bersatu kembali, serta menyiapkan komisi keluarga di keuskupannya.

Minimnya Tenaga Pastoral
Situasi pastoral keluarga di Keuskupan Banjarmasin lain lagi. Uskup Banjarmasin Mgr Petrus Boddeng Timang mengungkapkan keprihatinannya terkait kasus pasangan yang sudah hidup bersama dalam satu rumah, tetapi belum menikah secara Gereja, apalagi secara sipil. Gereja setempat berupaya keras membereskan kasus-kasus ini.

“Kawin campur, entah beda agama ataupun beda Gereja juga cukup banyak. Perkawinan antara pendatang dengan penduduk asli yang beda suku dan beda agama tidak dapat dihindarkan lagi,” tegasnya.

Persoalan lain yang lebih memprihatinkan, demikian Mgr Timang, menyangkut pendidikan iman anak. Umumnya, orangtua di Kalimantan Selatan sibuk mencari nafkah. Mereka bekerja di daerah tambang, perkebunan sawit, dan perkebunan karet. Pendidikan iman anak kurang mendapat perhatian karena mereka sibuk dengan pekerjaan.

Langkah-langkah yang sudah dilaksanakan Mgr Piet Timang dan timnya dalam upaya pastoral keluarga selama ini, yaitu mencanangkan kegiatan pendampingan umat di kelompok-kelompok kecil.

“Penataran-penataran dan pendalaman-pendalaman iman sudah dilaksanakan, namun hasilnya belum optimal. Kami ingin menjangkau kelompok kecil di daerah terpencil, tetapi tenaga pastoralnya masih kurang,” ujarnya.

Para pastor kalau datang ke stasi terpencil, jelas uskup kelahiran Tana Toraja pada 7 Juli
1947, ini tidak hanya datang untuk memimpin Misa Kudus, tetapi sekaligus mengadakan pendalaman iman dan pendampingan keluarga-keluarga. Hal serupa juga dilakukan para suster, frater, dan katekis ketika mengadakan kunjungan ke stasi terpencil, karena minimnya tenaga pastoral di keuskupan ini.

Antonius Nendro Saputro
Laporan: Johannes Sutanto de Britto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar